Pemuda tanggung berbadan ceking dan hitam itu duduk di dalam saung kecil di bawah pohon tangkil. Keringat mengucur di keningnya. Matanya menatap hamparan sawah yang mulai menguning siap panen. Diusapnya keringat, lalu tertidur.
Dalam tidurnya dia bermimpi berjumpa dengan seorang kakek berpakaian serba putih. Tidak ada percakapan di antara mereka, hanya senyuman tersungging di bibir kakek tua itu. Tangan sang kakek menunjuk ke arah kakinya.
“Hai Dosol Bangun!” terdengar suara memekakkan telinga. “Tidur melulu kerjamu. Perhatikan burung-burung itu, nanti habis padi saya!” omel Pak Dadang, juragannya.
Ya, saat itu sebentar lagi musim panen. Para tuan tanah mempekerjakan orang-orang untuk menjaga bebegig, boneka sawah yang dibuat untuk menakuti burung-burung pemangsa bulir padi. Konon, dulu bebegig dipercaya mengandung hal-hal mistis. Sebelum dibuat selalu diberi doa oleh orang ‘bisa’. Sehingga saat disimpan di tempat tertentu bagi yang bermaksud jahat akan tampak seperti raksasa yang menakutkan. Tetapi sekarang, zaman telah bergeser. Bebegig harus ditunggui orang. Cara mengusir burung-burung yang efektif saat tali yang diikatkan ke bebegig ditarik, dan mereka pun berhamburan terbang.
***
Adalah Oman, penjaga bebegig juragan Dadang, orang terkaya di kampungnya. Perawakannya selalu menjadi bahan candaan pemuda kampungnya. Ditambah bajunya yang selalu tidak berkancing memperlihatkan pusarnya yang menonjol. Hal itulah dia diejek hingga sekarang sebagai si Dosol.
Si Dosol tidak pernah sedikit pun marah pada orang-orang yang mengejeknya. Pikirannya hanya fokus untuk mencari uang yang akan diberikan setiap pulang kepada ibunya. Dia senang sekali jika melihat ibunya tersenyum.
***
Akhir-akhir ini pikiran si Dosol diganggu oleh mimpinya. Terbayang jelas tangan si kakek menunjuk ke arah kakinya. Bukan itu saja, ada hal misterius dari senyuman si kakek. Tapi anehnya itu malah membuat hatinya tenang. Ada rasa bahagia jika mengingatnya. Entah kenapa.
Seperti hari-hari sebelumnya, si Dosol berjalan menyelusuri jalan setapak yang biasa dia lalui menuju sawah juragan Dadang. Hari ini dia datang lebih pagi. Matahari belum sempurna terangnya. Sawah itu terletak di pinggir kebun jagung. Masih milik juragannya. Agak menanjak jalannya, sehingga dibuatkan tangga tanah yang diberi penguat batu dan serpihan bambu agar tidak longsor.
Karena hari masih gelap, saat naik tangga kaki si Dosol terantuk batu. Sakit sekali rasanya. Jempol kaki kanannya membiru. Terduduk dia sejenak sambil menahan sakit.
Di dalam saung, si Dosol bersandar di tiang. Kakinya diselonjorkan ke arah jalan tadi. Jempolnya semakin membiru, bengkaknya pun membesar. Keringat dingin mulai membasahi tubuh. Badannya meriang. Kepalanya pening. Si Dosol pun pingsan.
Dalam pingsannya si Dosol bermimpi berjumpa lagi dengan kakek berbaju serba putih. Tetap tidak ada percakapan. Wajah si kakek tampak lebih sumringah dibandingkan dengan pertemuan pertama. Tangannya kembali menunjuk ke arah kaki. Si Dosol. Dia pun terjaga.
Matahari sudah tinggi. Si Dosol masih duduk di saung. Kakinya kembali diselonjorkan. Kepalanya masih pening, badannya masih meriang. Kembali dia teringat perjumpaannya dengan si kakek berbaju serba putih. Tangan kakek yang menunjuk ke arah kakinya. Ehmm, mungkin ini pertanda kaki aku akan sakit, atau aku terjatuh, atau…, tapi kenapa kakek itu malah senyum. Jangan-jangan dia mengejekku? Tak henti si Dosol bergumam. Dipandanginya terus jempol kakinya. Matanya fokus. Tapi, kenapa ada cahaya kuning di ujung jempolku? Oh rupanya cahaya matahari tepat di ujungnya. Ehh, tapi bukan dari kuku. Cahaya itu ada di tempat aku jatuh.
Si Dosol bangun. Dipandanginya yang berkilauan itu. Rupanya pas tadi dia berselonjor, arahnya mengarah ke jalan tempat dia jatuh. Segera turun. Didekatinya tempat itu. Tampak ada batu besar yang ditutupi tanah. Sebagian ujungnya kekuningan. Rupanya terkelupas saat dia terantuk. Hatinya berdebar. Dirabanya batu itu, lalu dibersihkan dengan tangannya. Kuning semua. Digalinya batu kuning seberat lebih dari satu kilogram itu, kemudian dibawanya pulang.
***
Pagi buta di hari Minggu si Dosol menelusuri jalan raya. Tujuannya ke toko emas Bah Engkong di kota kecamatan. Hatinya bulat untuk bertanya keaslian temuannya. Dia sudah tidak peduli nanti ditertawakan atau bahkan diejek. Kakinyanya masih sakit. Tapi keyakinannya jauh lebih besar dibandingkan dengan rasa sakitnya.
Toko emas Bah Engkong masih tutup. Memang, kalau Minggu buka pukul 10. Berarti dua jam lamanya si Dosol harus menunggu. Dia duduk di depan toko sambil tangan terus mendekap erat tas butut berisi batu kuningnya itu. Orang-orang mengira si Dosol adalah pengemis yang menggelandang meminta sedekah.
“Bah, tolong diperiksa benda apa ini?” Si Dosol memohon saat toko emas itu dibuka. Tangannya gemetar.
Bah Engkong melongo melihat benda di atas meja kacanya. Didekati dan dirabanya. Giliran tangannya yang gemetar. Belum pernah dia melihat benda berwarna kuning sebesar itu. Wajahnya berubah menjadi ramah.
“Kamu orang beruntung. Ini emas beneran. Oe belum pernah lihat emas sebesar ini. Kalau mau jual ini emas, oe nggak punya uang untuk menebusnya,” kata Bah Engkong.
“Emas beneran?!” seru si Dosol kaget. Disimpannya mangkok bubur pemberian Bah engkong. Ditatapnya Bah Engkong dalam-dalam. “Emang berapa harganya?”
“Seluruh isi toko ini tidaklah seberapa dibandingkan dengan harga emas kamu,” jawab Bah Engkong. Gantian dia yang panas dingin.
“Jadi aku harus bagaimana Bah?” tanya si Dosol. “Apa aku harus ke toko lain?” lanjutnya polos.
“Jangan, jangan! Sudah simpan saja emas ini di sini. Nanti kita bicarakan solusinya ya,” cegah Bah Engkong.
***
Si Dosol duduk santai. Tapi bukan di saung juragan Dadang. Dia duduk di teras rumah minimalisnya. Di hadapannya adalah hamparan sawah yang dibelinya dari juragan Dadang yang bangkrut karena ditipu tengkulak. Di pinggir rumah ada toko alat bangunan lengkap dengan dua mobil truk baru. Lima karyawannya sibuk melayani pembeli.
Ya, si Dosol menjadi juragan tanah. Enam bulan setelah pertemuannya dengan Bah Engkong, dia mendapatkan rezeki yang melimpah. Mereka sepakat mengelola emas dengan sistem bagi hasil. Setiap hasil penjualan emas diberikannya kepada si Dosol setelah dipotong biaya produksi. Bah Engkong orangnya jujur. Dia memberikan hasil penjualan emas setiap bulan kepada si Dosol. Disarankannya agar uang itu digunakan untuk usaha dan ditabung.
Si Dosol memang orang yang tahu bersyukur. Dipekerjakannya orang-orang di toko bangunannya. Disantuninya orang-orang yang membutuhkan. Dibantunya pondok pesantren dan rumah-rumah ibadah. Setiap orang yang pernah mengejek dan menghinanya malu jika bertemu dengan si Dosol. Tapi si Dosol tidak pernah dendam. Kemana-mana dia selalu senyum. Senyum yang diajarkan si kakek berbaju putih dalam mimpinya dulu. ***
Cimahi, 7 Mei 2020.
Catatan:
Dosol = Pusar seseorang yang menonjol. Hal ini dikarenakan saat bayi, pemotongan tali pusarnya tidak sempurna.
Bebegig= Boneka orang-orangan yang disimpan di sawah untuk menakuti burung pemangsa padi.
Biodata:
Adhyatnika Geusan Ulun, lahir 6 Agustus 1971 di Bandung. Tinggal di Kota Cimahi. Guru Bahasa Inggris di SMPN 1 Cipongkor Bandung Barat sejak 1999. Pengurus MGMP Bahasa Inggris Kab. Bandung Barat. Alumni West Java Teacher Program di Adelaide South Australia, 2013. Penulis buku anak, remaja, dan dakwah. Editor NEWSROOM, tim peliput berita Dinas Pendidikan Bandung Barat. Jurnalis GUNEMAN Majalah Pendidikan Prov. Jawa Barat. Pengisi acara KULTUM Studio East Radio 88.1 FM Bandung. Redaktur Buletin Dakwah Qolbun Salim Cimahi. Kontributor berbagai Media Massa Dakwah. Sering menjadi juri di lomba-lomba keagamaan. Pos-el: Adhyatnika.gu@gmail.com, Instagram: @adhyatnika geusan ulun.