4. Marak
Pagi-pagi sekali Si Kabayan dan mertuanya sudah berkumpul di pinggir sungai. Hari itu semua penduduk desa akan marak (menangkap ikan di sungai yang sudah di bendung di hulu dan hilirnya) sebab akan ada tamu dari kota. Menurut kabar tamu dari kota itu sangat suka ikan sungai. Para tetua desa sudah tahu apa yang harus dikerjakan.
Setelah berkeliling di desa, tamu-tamu akan dijamu makan-makan di balai desa. Akan disediakan tawes goreng, pepes nilem, dan ikan mas bakar dengan sambal jahe yang diberi kecap. Ditambah nasinya dibuat dari beras yang masih baru, putih dan pulen. Dijamin tamunya akan merasa nikmat.
Yang membendung sungai sangat giat bekerja. Si Kabayan juga saat itu giat sekali, mengangkat batu dan batang pisang untuk membelokkan aliran sungai.
Kira-kira pukul 9 pagi air sudah mulai surut, sudah mulai terlihat ikan meliuk-liuk. Si Kabayan langsung sibuk menangkap ikan yang terlihat atau meraba-raba di bawah batu-batu. Hap, dapat tawes sebesar telapak tangan. Ketika akan dimasukkan ke dalam Korang-nya (wadah ikan yang terbuat dari anyaman bambu yang dapat diikatkan di pinggang), tetua desa berteriak “Jangan dimasukkan ke dalam korang, itu untuk tamu.”
Tawes itu tidak jadi dimasukkan ke dalam korang oleh Si Kabayan, tetapi terus dilamparkan ke dalam cireung (keranjang besar yang terbuat dari anyaman bambu) yang sudah disediakan di pinggir sungai.
Si Kabayan mencari-cari lagi. Hap… dia berhasil menangkap ikan nilem yang besar sekali. Ketika dia memasukkan ikannya, tetua desa itu berkata lagi, “Lemparkan ke dalam cireung, buat tamu. Kesukaannya pepes nilem.”
Si Kabayan lalu meraba-raba lagi. Hap… dia menangkap ikan mas, baru saja si kabayan mengangkat tangannya, tetua desa sudah berteriak, “Lemparkan ke cireung, ikan mas kesukaan orang kota!”
Si Kabayan berbicara dalam hatinya, “Saya yang kotor-kotoran, hanya diberi ikan seluang sebesar ibu jari atau ikan gabus. Yang besar-besar untuk tamu yang tidak ikut capai sama sekali.”
Si Kabayan lalu melanjutkan mencari-cari ikan kembali. Dia kembali mendapat ikan nilem sebesar telapak tangan anak kecil. Ketika para tetua desa sedang tidak melihat, ikan itu dimasukkan ke dalam korang-nya. Dia ke luar dari sungai sambil berkata kepada mertuanya bahwa dia akan membuat api. Mau makan dulu, lauknya seluang dan gabus bakar.
“Iya, makan saja dulu! Kalau Abah tadi sudah sarapan di rumah.” Kata mertuanya.
Si kabayan membuat api di pinggir sungai, lalu membakar ikan nilem yang tadi dia sembunyikan. Timbelnya dibuka dan langsung makan dengan lauk ikan bakar.
Ikannya baru habis sepotong, tiba-tiba Si Kabayan berteriak-teriak memanggil mertuanya.
“Abah… Abah… cepat ke sini! Ini saya sakit perut, perut terasa melilit dan penglihatan juga berkunang-kunang!”
Mertuanya kaget melihat Si Kabayan berguling-guling sambil memegangi perutnya.
“Aduh…Aduh… ini perut sakit sekali!” kata Si Kabayan. Matanya mendelik-delik.
Orang-orang yang ada di dekat situ semuanya ribut mengerubungi Si Kabayan.
“Kenapa? Kenapa? Memangnya kamu makan apa?”
“Tidak tahu, baru juga satu suap makan nilem, tiba-tiba perut melilit dan penglihatan kabur. Aduh…aduh.. saya takut mati! Jangan-jangan ikannya ada racunnya…” jawab Si Kabayan sambil melotot.
Orang-orang yang berkumpul melihat nilem bakar yang tinggal sepotong.
“Jangan-jangan memang benar ikannya ada rucannya. Mungkin di sungai atas ada orang yang sedang menangkap ikan dengan cara menuba menggunakan akar leteng.” Kata orang-orang yang sedang mengerubungi Si Kabayan.
Lalu Si Kabayan berkata kembali sambil nungging muntah-muntah “sudah pasti, tidak salah lagi, gara-gara makan ikan nilem, saya jadi seperti ini. Aduh…aduh… ini mata seperti ada yang menusuk-nusuk.”
Orang-orang yang sedang marak berhenti. Tetua desa bingung, takut ikannya benar-benar beracun. Apalagi ikan itu untuk menjamu tamu dari kota.
“berhenti saja dulu, kita pindah ke sebelah atas lagi yang jauh dari desa. Mumpung masih pagi. Lepaskan saja ikan-ikan yang ada dalam cireung-nya!” kata tetua desa.
Ikan yang ada di dalam cireung ditumpahkan ke sungai. Lalu yang akan marak berduyun-duyun pindah.
Tinggal Si Kabayan ditemani mertuanya di pinggir sungai.
Ketika rombongan yang akan marak sudah jauh, Si Kabayan langsung bangun dan berlari ke tengah sungai yang airnya masih surut. Bendungannya belum dibuka, ikan-ikannya masih terlihat bergerak-gerak.
“Cepat tangkap, Abah! Takut yang lain keburu balik lagi.”
Mertuanya hanya melongo. “Kamu sudah sembuh, Kabayan?”
“Dari tadi juga tidak apa-apa. Saya jengkel saja, dapat nilem besar, buat tamu. Dapat tawes besar, buat tamu. Dapat ikan mas, buat tamu. Sedangkan buat kita yang kotor-kotoran hanya seluang dan gabus.” kata Si Kabayan sambil tersenyum.
Ikan sudah tidak bisa masuk ke dalam korang-nya, karena terlalu banyak. Terpaksa digembol dengan sarungnya.
Dirinya dan mertuanya tidak ikut pergi ke atas dengan yang lainnya. Tetapi terus pulang.