Utamakan Bahasa Indonesia, Lestarikan Bahasa Daerah, dan Kuasai Bahasa Asing

Menuju Zona Integritas Wilayah Bebas dari Korupsi

Kontak Aduan & Layanan
082130165377
Pengaduan ULT
Artikel Artikel/KTI Sastra

Sihir Pokemon Go di Era Posmo

oleh Iwan Ridwan*

kartun-pokemon-goDi tengah kekhawatiran wabah penyakit akibat vaksin palsu, game (permainan) Pokemon Go seolah luput dari pengawasan kita. Perlahan tapi pasti, permainan ini bak virus yang menjangkit sebagian kalangan di Indonesia. Rasa penasaran akan permainan yang digemari masyarakat dunia ini, membuat manusia Indonesia (rentang usia 20-30 tahunan) begitu tergila-gila untuk memainkannya.

Permainan berbasis Augmented Reality MMO (Massively Multiplayer Online) tampak berhasil menyihir kita, menuntun penggunanya berjalan-jalan, mencari monster-monster imut untuk ditangkap. Tak sedikit penggunanya menabrak tiang jalan, melalaikan lalu lintas sekitarnya, dan bahkan lupa tempat memainkannya. Pemerintah pun kemudian melarang penggunanya masuk Istana. Tempat ibadah pun terusik dengan kesurupan para penggemar permainan ini.

Pesona game online Nintendo dengan bantuan Pokemon Company dan Naintic, Inc ini tentu takkan sepopuler sekarang jika Satoshi Tajiri tidak menciptakan konsep permainan pokemon itu pada 1990-an. Kala itu Tajiri menciptakan video game yang berkonsep pokemon serangga agar anak-anak mencintai hewan tersebut. Enam tahun kemudian konsep Tajiri ini dibantu Nintendo dan ilustrator Ken Sugimoro, yang menggambar 151 karakter pokemon berbeda-beda, sehingga akhirnya dapat dirilis untuk permainan anak laki-laki.

Kemudian permainan ini muncul dalam wujud film dengan debut pertamanya pada 1997 di Jepang dan 1998 di US. Dalam film berjudul “Pokemon The First Movie-Mewtwo Strikes Back” ditambahkan karakter pelatih pokemon, yakni Ash Ketchum (Satoshi) sebagai pihak yang baik dan tim Rocket (Jessie, James, and Meowth) sebagai pihak antagonis. Ada juga teman-teman Ash Ketchum yang berpetualang bersama. Menjelajah alam dan dunia.

Mungkin kala itu permainan Pokemon belum begitu meroket seperti sekarang. Kekinian permainan ini mendapat respons yang luar biasa ketika realitas (augmented reality) dimainkan sedemikian rupa. Hal ini terlihat dari statistik SimilarWeb tentang negara-negara di dunia dengan jumlah pemain Pokemon Go terbanyak. Ketiga urutan atas ditempati oleh Selandia Baru, Australia, dan Amerika Serikat. Di Asia, Filipina dan Vietnam menempati peringkat ke-10 dan 11. Sementara Indonesia berada di peringkat ke-23 (Hidayat, 2016).

Sihir Pokemon
Fakta menarik ini menunjukkan bagaimana dunia telah bergeser. Sebuah permainan bisa jadi pengubah gaya hidup. Hari demi hari jantung masyarakat dunia kembang kempis. Terlepas dari manfaat dan aspek negatif permainan ini, tentu kita sudah “dewasa” bagaimana menyaring hal yang tidak sesuai dengan kebudayaan kita.
Mari kita berkaca bagaimana pedalangan Jawa berhasil menyulap kisah Ramayana dan Mahabharata dengan kontur kebudayaan Indonesia. Gagasan ini sejalan dengan apa yang dikatakan Mochtar Lubis tentang ciri-ciri manusia Indonesia. Mochtar Lubis dalam (Marzali, 2007: 124) menyebutkan bahwa salah satu ciri utama manusia Indonesia adalah artistik.

Potensi artistik ini dikatakan Lubis sebagai ciri-ciri positif manusia Indonesia yang juga masih menjaga kemesraan hubungan antarmanusia, kasih ibu dan bapak pada anak-anaknya, berhati lembut dan suka damai, serta terkenal sabar (Marzali, 2007: 125). Hal inilah yang harus kita junjung ketika terbuai dengan Pokemon Go. Kebudayaan asing dalam bentuk modifikasi daring itu harus kita kendalikan untuk tetap merawat impian kemerdekaan yang kita raih 71 tahun silam.

Ensiklopedia digital dalam menu Pokedex dan akses lokasi nyata dalam Pokestops, misalnya, dapat kita ambil manfaat positifnya. Ini bisa saja menambah kepekaan dalam membaca peta informasi, koleksi perbendaharaan kata, hingga mempererat persaudaraan. Bahkan, berpotensi meningkatkan daya literasi bangsa ini.

Pokemon di Era Posmo
Pada gilirannya kita sedang menghuni iklim global. Kecanggihan produk teknologi seperti Pokemon Go (bagian dari unsur kebudayaan dalam arti luas) tak terlepas dari kebangkitan era posmodernisme di segala bidang kehidupan pada abad 20. Istilah ini muncul sekitar tahun 1870-an, digunakan oleh seniman Inggris John Watkins Chapman. Kemudian muncul kembali pada tahun 1930-an. Melalui Federico de Onis, sebagai salah satu reaksi stagnasi modernisme, dan mulai dibicarakan secara luas sekitar tahun 1960-an. Mulai tahun inilah kata post mulai digunakan, pospositivisme, poskolonialisme, dsb.

Era posmodernisme didominasi oleh informasi dengan simbol komputer. Para pelakunya terkenal dengan sebutan cognitariat dengan model network. Masalah-masalah masyarakat, khususnya karya seni tidak bisa dibedakan secara paradoksal dikotomis selalu terjadi interaksi yang saling memengaruhi, saling menyempurnakan, dan saling menentukan di antara gejala-gejala yang terlibat. Posmodernisme membangkitkan kembali segala sesuatu yang laten, tersembunyi, terlupakan, terabaikan, dan terlalaikan (Ratna, 2013: 151).

Ada benang merah antara fenomena Pokemon Go dengan dunia posmo. Hal ini terlihat dari ciri yang dikatakan Robert Dunn tentang era posmodernisme, yakni: pergeseran nilai yang menyertai budaya massa dari produksi ke konsumsi, dari pencipta ke penerima, dari karya ke teks, dari seniman ke penikmat; pergeseran dari keseriusan (intelektualitas) ke nilai-nilai permainan populer, dari universal ke partikular; kebangkitan kembali tradisi, primordial, dan nilai-nilai masyarakat lama lainnya.

Pokemon Go di era posmodernisme merupakan akibat ketidakmampuan modernisme dalam menanggulangi kepuasaan masyarakat, yaitu berbagai kebutuhan yang berkaitan dengan masalah sosial, politik, ekonomi, kebudayaan, dan sebagainya. Menurut Rosenau (dalam Ratna, 2013: 181-182), indikatornya adalah kegagalan ilmu pengetahuan modern yang terlalu menekankan pada dimensi fisik, mengabaikan dimensi mitis, dan metafisika yang lain.

Dalam era posmo, yaitu ketika kemakmuran dan waktu luang meningkat, komponen yang memegang peranan adalah konsumen. Sistem informasi, seperti media massa, iklan, pemasaran, kartu kredit demikian juga budaya populer (televisi, komputer, pusat perbelanjaan, sastra populer) menjadi bagian penting. Sama halnya dunia fiksi, Pokemon Go tampaknya telah memadukan aspek-aspek tradisional dengan modern, kejadian nyata dan khayal, antardua dunia yang saling berhubungan. Dengan hal ini, haruslah kita sadari bahwa Pokemon Go juga tak terlepas dari dinamika zaman yang dinamis dan terus berkembang. Waspadalah!

*Mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia UPI. Bergiat di Arena Studi Apresiasi Sastra (ASAS) UPI. Menulis Esai. Tulisannya pernah termuat di Analisa, Fajar Sumatera, Koran Madura, Koran Merapi, Koran Sindo, Majalah Sastra Tarebung, Media Indonesia, Padang Ekspres, Riau Pos, Suara Karya, Warta Kota.

×

 

Hallo!

Klik kontak kami di bawah ini untuk mengobrol di WhatsApp/p>

× Apa yang bisa saya bantu?