Sikap Berbahasa Para Pengusaha Kuliner di Jabar
Oleh Dindin Samsudin*
Pemerintah sudah berupaya untuk memartabatkan bahasa Indonesia dengan membuat aturan penggunaan bahasa Indonesia melalui sebuah undang-undang atau peraturan pemerintah. Dalam Pasal 36 ayat (3) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan, dikatakan bahwa “Bahasa Indonesia wajib digunakan untuk nama bangunan atau gedung, jalan, apartemen atau permukiman, perkantoran, kompleks perdagangan, organisasi yang didirikan atau dimiliki oleh warga negara Indonesia atau badan hukum Indonesia”.
Kemudian, dalam Pasal 37 ayat (1) dikatakan bahwa “Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam infomasi tentang produk barang atau jasa produksi dalam negeri atau luar negeri yang beredar di Indonesia”. Sementara itu, dalam Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 67/M-DAG/PER/11/2013 tentang Kewajiban Pencantuman Label dalam Bahasa Indonesia, terutama Pasal 2 ayat (1) dikatakan bahwa “Pelaku usaha yang memproduksi atau mengimpor barang untuk diperdagangkan di pasar dalam negeri wajib mencantumkan label dalam bahasa Indonesia”.
Namun, aturan tersebut masih tidak diacuhkan oleh masyarakat pengguna bahasa Indonesia. Tidak dapat dimungkiri, kenyataan penggunaan bahasa Indonesia, khususnya di ruang publik, saat ini banyak yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Penggunaan bahasa asing di ruang publik, khususnya yang digunakan oleh para pengusaha memang sudah sangat memprihatinkan. Papan nama dan papan petunjuk yang digunakan oleh para pengusaha kuliner di Kota Bandung dan sekitarnya misalnya, banyak yang menggunakan bahasa asing, khususnya bahasa Inggris. Kenyataan tersebut seolah-olah Kota Bandung adalah kota yang berada di luar negeri karena sudah kehilangan warna lokalnya. Hal tersebut menunjukkan bahwa dari sisi psikomotorik (konatif) para pemangku kepentingan di bidang usaha kuliner di Bandung dan sekitarnya kurang positif terhadap bahasa Indonesia.
Kepedulian masyarakat pengguna bahasa terhadap penggunaan bahasa Indonesia memang berkaitan erat dengan sikap bahasa seseorang. Garvin dan Mathiot (dalam Suwito, 1983) mengemukakan bahwa sikap bahasa itu setidak-tidaknya mengandung tiga ciri pokok, yaitu kesetiaan bahasa (loyalitas bahasa), kebanggaan bahasa, dan kesadaran akan norma bahasa. Dengan demikian, ketika seseorang akan menggunakan suatu bahasa akan dipengaruhi oleh beberap faktor, di antaranya adalah sikap bahasa.
Berkaitan dengan hal tersebut, tentu memunculkan beberapa pertanyaan: (1) bagaimana sebenarnya sikap pengusaha kuliner di Jawa Barat terhadap penggunaan bahasa Indonesia? (2) Apakah para pengusaha kuliner di Jawa Barat mengetahui peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan bahasa dan penggunaan bahasa Indonesia dan bahasa asing?
Untuk mengetahui hal tersebut, Balai Bahasa Jawa Barat melakukan kajian sikap berbahasa para pengusaha kuliner di Jawa Barat dalam bentuk sebuah penelitian. Penelitian dilakukan dengan menggunakan pendekatan kuantitatif dengan metode survei, yaitu mengambil sampel dari populasi dan mengumpulkan data melalui kuesioner sebagai alat pengumpul data.
Sampel penelitian sebanyak 194 orang dan instrumen penelitian untuk variabel pengetahuan tentang peraturan kebahasaan berupa kuisioner sebanyak 8 pertanyaan; untuk variabel sikap berupa angket skala Likert sebanyak 32 pernyataan. Teknik analisis data menggunakan analisis jalur (korelasi dan regresi) dan analisis statistik deskriptif (crosstab).
Kuesioner data yang dianalisis berasal dari masyarakat pengusaha kuliner di tiga kota/kabupaten yang ada di Jawa Barat, yaitu Kota Bandung, Kabupaten Kuningan, dan Kabupaten Purwakarta. Sementara itu, hipotesis dari penelitian tersebut adalah bahwa pengetahuan tentang peraturan kebahasaan berpengaruh signifikan terhadap sikap bahasa pengusaha kuliner di Jawa Barat.
Dari hasil penelitian diketahui bahwa pengetahuan pengusaha kuliner di Jawa Barat, khususnya di Kota Bandung, Kabupaten Purwakarta, dan Kabupaten Kuningan tentang peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan bahasa dan penggunaan bahasa Indonesia dan bahasa asing termasuk kategori tidak baik karena nilai rata-ratanya hanya mencapai 30,55%.
Hal tersebut dapat terlihat dari hasil analisis bahwa pengetahuan pengusaha kuliner di Kota Bandung, Kabupaten Purwakarta, dan Kabupaten Kuningan mengenai peraturan kebahasaan, khususnya berkaitan dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009, masih sangat kurang karena hanya sebagian kecil (14.4%) responden menjawab tahu dan menjawab pertanyaan selanjutnya dengan tepat. Sementara itu, pengetahuan pengusaha kuliner di Kota Bandung, Kabupaten Purwakarta, dan Kabupaten Kuningan mengenai peraturan kebahasaan berkaitan dengan Pasal 2 Permendag Nomor 67/M-DAG/PER/11/2013 juga masih sangat kurang karena hanya sebagian kecil (10.3%) responden menjawab tahu dan menjawab pertanyaan selanjutnya dengan tepat.
Menurut hasil penelitian, ternyata sikap bahasa pengusaha kuliner di Jawa Barat, khususnya di Kota Bandung, Kabupaten Purwakarta, dan Kabupaten Kuningan terhadap bahasa dan penggunaan bahasa Indonesia dan bahasa asing masih termasuk kategori baik karena nilai rata-ratanya mencapai 74,93%.
Sementara itu, dari hasil penelitian diketahui juga bahwa pengetahuan peraturan kebahasaan tidak berpengaruh signifikan terhadap sikap bahasa pengusaha kuliner di Kota Bandung, Kabupaten Purwakarta, dan Kabupaten Kuningan. Hal tersebut dibuktikan dengan hasil analisis besarnya pengaruh pengetahuan peraturan kebahasaan terhadap sikap bahasa pengusaha kuliner di Kota Bandung, Kabupaten Purwakarta, dan Kabupaten Kuningan hanya sebesar 24,41%, sedangkan sisanya sebesar 75,59% ditentukan oleh variabel yang lain yang bukan pengetahuan peraturan kebahasaan.
Dari hasil penelitian tersebut disimpulkan juga bahwa signifikansi pengaruh pengetahuan pengusaha kuliner terhadap peraturan mengenai kebahasan (24,41%) menunjukkan bahwa peraturan tersebut kurang sosialisai.
Berdasarkan hasil penelitian tersebut, sikap positif para pengusaha kuliner di Jawa Barat, khususnya di Kota Bandung, Kabupaten Purwakarta, dan Kabupaten Kuningan, terhadap bahasa Indonesia ternyata sudah baik. Akan tetapi, dalam praktik sehari-hari belum tercermin, misalnya pengusaha kuliner masih banyak menggunakan papan nama usahanya dengan menggunakan bahasa asing atau struktur asing. Tampaknya, perlu diadakan gerakan nasional kesadaran mencintai apa yang dimiliki bangsa Indonesia.
Untuk pemertahanan suatu bahasa, khususnya bahasa negara, bahasa Indonesia, memang perlu dikembangkan sikap positif. Pengembangan sikap positif adalah suatu langkah dan upaya dalam pembinaan dan pengembangan sikap dan rasa bangga dalam memiliki dan menggunakan bahasa Indonesia.
Hasil penelitian ini tentu sangat bermanfaat secara praktis karena dapat digunakan untuk menentukan regulasi dan kebijakan, khususnya mengenai kebahasaan di ruang publik yang ada di Jawa Barat sehubungan dengan banyaknya penggunaan bahasa di ruang publik yang ada di kota-kota besar di Jawa Barat.
*Penulis adalah peneliti bahasa di Balai Bahasa Jawa Barat