Anggapan penggunaan bahasa asing akan meningkatkan gengsi tempat usaha yang mereka miliki harus dibuang jauh-jauh dari pikiran masyarakat kita. Hal tersebut perlu dilakukan karena pada kenyataannya justru banyak juga tempat yang memiliki gengsi tinggi walaupun nama tempatnya menggunakan bahasa Indonesia. Salah satu contoh yaitu perumahan elite di Kabupaten Bandung Barat yang diberi nama “Kota Baru Parahyangan” atau di Jakarta ada perumahan elite dengan nama “Pondok Indah”.
Sebenarnya sudah ada undang-undang yang mengatur tentang penggunaan bahasa di ruang publik, yaitu Undang-undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan. Dalam peraturan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tadi mengharuskan pengutamaan penggunaan bahasa Indonesia di ranah publik. Dalam Pasal 36 Ayat (3) disebutkan bahwa bahasa Indonesia wajib digunakan untuk nama bangunan atau gedung, jalan, apartemen atau permukiman, perkantoran, kompleks perdagangan, organisasi yang didirikan atau dimiliki oleh warga negara Indonesia atau badan hukum Indonesia.
Kemudian, dalam Pasal 37 Ayat (1) dituliskan bahasa Indonesia wajib digunakan dalam infomasi tentang produk barang atau jasa produksi dalam negeri atau luar negeri yang beredar di Indonesia. Selanjutnya, Pasal 38 Ayat (1) dituliskan bahasa Indonesia wajib digunakan dalam rambu umum, petunjuk jalan, fasilitas umum, spanduk, dan alat informasi yang merupakan pelayanan umum.
Dalam rangka meningkatkan sikap positif berbahasa, Balai Bahasa Jawa Barat menyelenggarakan kegiatan Peningkatan Sikap Positif Masyarakat Indramayu terhadap Bahasa Indonesia dan Bahasa Daerah yang diselenggarakan pada tanggal 21 September 2018 di Ponpes Darul Ma’arif Kaplongan, Jalan Raya Kaplongan Nomor 28, Karangampel, Indramayu. Sebanyak seratus peserta yang berprofesi sebagai guru bahasa, kepala sekolah, dan kepala madrasah yang ada di lingkungan Kementerian Agama Kabupaten Indramayu diundang dalam kegiatan tersebut. Kegiatan yang mendapat antusiasme luar biasa dari peserta ini dibuka oleh anggota Komisi X DPR RI asal Indramayu, H. Dedi Wahidi, S.Pd.
Dalam arahannya, Dedi Wahidi mengatakan bahwa beliau memilih posisi di Komisi X DPR RI yang bergerak di bidang pendidikan dan kebudayaan karena beliau sangat berkeinginan untuk ikut andil dalam mencerdaskan dan memajukan bangsa dan negara Indonesia melalui peningkatan kualitas pendidikan. Dalam kesempatan tersebut, Dedi Wahidi juga menyinggung kegelisahan sistem pendidikan di wilayah Indramayu dan Cirebon terkait adanya kurikulum yang mengharuskan adanya muatan lokal bahasa daerah di Jawa Barat, yaitu bahasa Sunda dalam proses pendidikan di sekolah. Padahal, bahasa ibu atau bahasa sehari-hari di rumah bagi masyarakat di Indramayu dan Cirebon adalah bahasa Jawa atau bahasa Dermayu. Oleh karena itu, salah satu hal yang perlu dibicarakan dan didiskusikan dalam kegiatan Peningkatan Sikap Positif Masyarakat Indramayu terhadap Bahasa Indonesia dan Bahasa Daerah adalah perlu disosialisasikan tentang sistem dan cara penggunaaan bahasa Indonesia dan bahasa daerah dalam sistem pendidikan dan keseharian masyarakat Indramayu.
Sementara itu, Drs. Sutejo, Kepala Balai Bahasa Jawa Barat, dalam sambutannya mengatakan bahwa masyarakat Indramayu belum sepenuhnya mempunyai sikap positif terhadap bahasa Indonesia. Artinya masyarakat Indramayu masih belum semuanya mempunyai kesetiaan dan kebanggaan terhadap bahasa Indonesia. Buktinya, beberapa penggunaan bahasa di ruang publik dan di jalan-jalan di Indramayu masih ada yang menggunakan bahasa asing. Dengan adanya kegiatan ini diharapkan masyarakat Indramayu mempunyai sikap yang lebih positif lagi terhadap bahasa Indonesia.
Sutejo juga berharap agar masyarakat Indramayu memiliki sikap positif terhadap bahasa daerah, khususnya bahasa Dermayu. Kita harus memiliki slogan “Utamakan bahasa Indonesia, lestarikan bahasa daerah, dan kuasai bahasa asing.” Sutejo menambahkan bahwa Balai Bahasa Jawa Barat tidak anti terhadap bahasa asing. Justru, masyarakat Indramayu harus menguasai bahasa asing, terutama bahasa Inggris dan Arab misalnya. Hal itu perlu dilakukan karena kedua bahasa tersebut adalah bahasa internasioanal. Bahkan, kata Sutejo, 90 % ilmu pengetahuan dan teknologi ditulis dalam bahasa Inggris.
Selain Dedi Wahidi dan Sutejo, dalam kegiatan tersebut hadir juga sebagai narasumber Supali Kasim, M.Pd. dari Lembaga Basa dan Sastra Dermayu (LBSD). Dalam kesempatan tersebut, Supali Kasim mengatakan bahwa hingga kini belum semua sekolah mengajarkan mulok bahasa Indramayu karena tiga alasan: 1. Tidak tahu peraturan tentang itu; 2. Tidak ada yang mengajarkan hal itu; 3. Menganggap bahasa Indramayu tidak penting. Terkait alasan yang kedua, Supali mengungkapkan bahwa hal itu terjadi karena belum ada universitas, sekolah tinggi, atau akademi yang membuka program studi bahasa Indramayu. Akibatnya, tidak ada yang mau mengajarkan bahasa Indramayu dan kalau ada guru yang mengajar pun adalah lulusan program studi lain.
Devyanti Asmalasari, M.Pd., selaku ketua panitia mengatakan bahwa kegiatan Peningkatan Sikap Positif Masyarakat Indramayu terhadap Bahasa Indonesia dan Bahasa Daerah mendapat antusiasme yang luar biasa dari masyarakat Indramayu. Hal tersebut terlihat dari peserta yang hadir melebihi jumlah peserta yang diundang. Menurut Devyanti, kegiatan ini bertujuan untuk menumbuhkan sikap positif masyarakat Indramayu terhadap bahasa Indonesia dan bahasa daerah dalam rangka pemantapan karakter bangsa. Devyanti menambahkan bahwa bahasa Indonesia, bahasa daerah, dan bahasa asing harus dapat digunakan sesuai dengan proporsinya secara harmonis.
Balai Bahasa Jawa Barat akan terus berupaya meningkatkan sikap positif berbahasa masyarakat, khususnya yang ada di Jawa Barat. Selain di Indramayu, Balai Bahasa Jawa Barat juga melaksanakan kegiatan yang sama di Cirebon. Hal tersebut perlu dilakukan karena kita tidak dapat membiarkan kenyataan berbahasa yang didominasi bahasa asing. Jati diri kita serta bangsa dan negara ini kita sendirilah yang menentukan. Salah satu penentu jati diri kita adalah bahasa kita, yaitu bahasa Indonesia. Kita harus dapat mencontoh negara-negara lain yang mengutamakan penggunaan bahasa negara masing-masing di ruang publik, contohnya di Jepang, Korea Selatan, Cina, dan Arab Saudi.
Mudah-mudahan penggunaan bahasa Indonesia di masyarakat akan semakin baik dan kita selalu ingat untuk menggunakan bahasa Indonesia secara baik dan benar apapun itu medianya. Kita berharap masyarakat lebih mengutamakan penggunaan bahasa Indonesia dan bukan bahasa asing yang “didewakan” sehingga bahasa Indonesia menjadi tuan rumah di negeri sendiri. (DS)