Utamakan Bahasa Indonesia, Lestarikan Bahasa Daerah, dan Kuasai Bahasa Asing

Menuju Zona Integritas Wilayah Bebas dari Korupsi

Kontak Aduan & Layanan
082130165377
Pengaduan ULT
Artikel/KTI Bahasa

Sumpah Pemuda dan Pemberdayaan Bahasa Daerah

Oleh Dindin Samsudin, S.S.*

“Kami putra dan putri Indonesia, menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia”.

Itulah bunyi sumpah ketiga dari para pemuda Indonesia pada tanggal 28 Oktober 1928 atau yang lebih dikenal dengan “Sumpah Pemuda”. Sungguh merupakan suatu anugerah yang tak terhingga bangsa Indonesia memiliki bahasa Indonesia. Entah bagaimana jadinya bangsa ini jika tak memiliki bahasa Indonesia. Tak terbayangkan bagaimana caranya orang Sunda berkomunikasi dengan orang Aceh atau entah bagaimana sulitnya orang Jawa berkomunikasi dengan orang Batak misalnya. Keberadaan bahasa Indonesia merupakan alat pemersatu bangsa sehingga semua suku yang berbeda di seluruh Indonesia dapat saling berkomunikasi. Oleh karena itu, sangatlah wajar dan beralasan kalau para pemuda pendahulu kita mengucapkan sumpahnya dan hingga kini kita harus tetap menjunjung tinggi bahasa Indonesia.

Selain memiliki bahasa nasional sebagai alat komunikasi antarsuku bangsa, Indonesia juga memiliki ratusan bahasa daerah. Keberadaan bahasa daerah merupakan khazanah budaya bangsa Indonesia yang sangat berharga dan tak dimiliki bangsa lain. Akan tetapi, penggunaan dan keberadaan bahasa daerah saat ini sudah dapat dikatakan memprihatinkan. Badan Bahasa Kemendikbud Jakarta mengungkapkan bahwa dari total 746 bahasa daerah di Indonesia, dikhawatirkan pada 2099 mendatang hanya tinggal 10 persen. Menurut penelitian, sebanyak 726 dari 746 bahasa daerah di Indonesa terancam punah karena generasi muda enggan memakai bahasa tersebut. Bahkan, kini hanya tersisia 13 bahasa daerah yang memiliki jumlah penutur di atas satu juta orang, itu pun sebagian generas tua. Ketiga belas bahasa daerah yang jumlah penuturnya lebih dari satu juta penutur adalah bahasa Jawa, Batak, Sunda, Bali, Bugis, Madura, Minang, Rejang Lebong, Lampung, Makassar, Banjar, Bima, dan bahasa Sasak.

Saat ini memang bahasa daerah mulai dikesampingkan dan ditinggalkan oleh generasi muda, khususnya anak-anak di kota besar. Kondisi ini memang sangat mengkhawatiran bagi kelangsungan hidup bahasa daerah di Indonesia. Banyak orang yang mengenyam pendidikan justru lebih memprioritaskan bahasa Indonesia atau bahasa asing untuk dipelajari. Padahal, bahasa daerah juga harus tetap diperhatikan dan diberdayakan karena jika hal itu tidak dilakukan, bahasa daerah bisa punah.

Tidak dapat dimungkiri bahwa saat ini masyarakat merasa tidak ada nilai tambah jika berbicara dengan bahasa ibu (bahasa daerah). Akibatnya, penggunaan bahasa daerah dalam kehidupan sehari-hari semakin berkurang. Para remaja dan anak-anak di Bandung misalnya banyak yang mengesampingkan bahasa Sunda. Bahkan, banyak di antara mereka yang sama sekali tidak menguasai bahasa sunda yang seharusnya merupakan bahasa ibu bagi mereka. Jarang sekali terdengar para remaja dan anak-anak Bandung menggunakan bahasa Sunda ketika berkomunikasi dengan sesamanya. Perkembangan zaman yang berimbas pada perubahan berbagai aspek kehidupan memang memengaruhi hal itu. Sebagai akibat dari pengaruh budaya global, kini anak-anak dan para remaja Bandung cenderung menggunakan bahasa nasional bahasa Indonesia ketika berkomunikasi dan tak jarang diselingi juga dengan bahasa asing.

Akan tetapi, menurut pengamatan penulis terdapat satu faktor utama yang perlu digaris bawahi berkenaan dengan ketidakmampuan generasi muda berbahasa Sunda yang berujung ditinggalkannya bahasa ini, yaitu tidak adanya pengajaran bahasa Sunda dari orang tua kepada anak-anaknya. Intinya, bahasa Sunda tidak diberdayakan di lingkungan keluarga. Abdul Khak, Kepala Balai Bahasa Bandung, mengatakan bahwa dari hasil penelitian terhadap 900 responden pasangan suami istri di 9 kota/kabupaten di Jabar, hanya 46% pasangan suami istri yang menggunakan bahasa daerah sebagai bahasa komunikasi keluarga termasuk kepada anak-anaknya, selebihnya menggunakan bahasa Indonesia.

Kemampuan seseorang dalam berbahasa berawal dari pembelajaran. Pembelajaran bahasa diawali dengan proses mendengar dan menyimak bahasa yang diajarkan kepadanya. Jika prosesnya seperti itu, orang tualah yang berperan sangat penting dalam pemerolehan bahasa seorang anak. Jenis bahasa yang diajarkan orang tua kepada anaknya, bahasa itulah yang dikuasai dan digunakan anak tersebut.

Lingkungan keluarga merupakan tempat yang paling tepat dan ideal untuk pembelajaran, pengajaran, dan pemberdayaan bahasa daerah. Jika si anak sudah ke luar dari lingkungan rumah, tidak ada waktu dan ruang lagi untuk belajar bahasa daerah. Penggunaan bahasa daerah di luar rumah sudah terbatasi oleh hal-hal yang harus mengesampingkan penggunaan bahasa daerah. Apalagi di kota besar yang sudah multietnis, kebebasan berkomunikasi menggunaan bahasa daerah akan terbatasi oleh mitra bicara di sekitarnya yang tidak seibu bahasa. Penggunaan bahasa daerah di luar lingkungan rumah juga akan terbatasi oleh penggunaan bahasa nasional yang merupakan bahasa pengantar dalam dunia pendidikan dan dalam percakapan formal. Jika berharap pembelajaran bahasa daerah dilakukan di sekolah, sangatlah tidak memungkinkan karena saat ini sedikit sekali waktu dan materi pembelajaran bahasa daerah yang ada di bangku sekolah.

Dengan demikian, sebagai upaya pelestarian bahasa daerah, bahasa yang pertama kali harus dikuasai oleh seorang anak adalah bahasa daerah. Menurut hemat penulis, jika anak sudah menguasai bahasa daerah, penguasaan bahasa nasional (Indonesia) akan menyusul kemudian karena pembelajaran bahasa Indonesia dapat mereka pelajari lebih dalam lagi di bangku sekolah. Kenyataannya, kini orang tua langsung mengajarkan bahasa Indonesia kepada anak mereka sebagai bahasa pertama. Mungkin hal itu mereka lakukan karena adanya anggapan dan kekhawatiran bahwa jika seorang anak tidak menguasai bahasa Indonesia dari awal, dia akan mengalami kesulitan dalam menerima atau memahami pelajaran di sekolah. Kekhawatiran orang tua seperti itu adalah kekhawatiran dan ketakutan yang berlebihan dan tidak mendasar karena dalam sistem pendidikan nasional, bahasa daerah dapat digunakan sebagai bahasa pengantar dalam tahap awal pendidikan dan sejauh diperlukan dalam penyampaian pengetahuan dan/atau keterampilan tertentu. Jadi, dalam tahap awal, bahasa Indonesia tidak diwajibkan penggunaannya sebagai bahasa pengantar di sekolah. Jika demikian halnya, apa lagi yang ditakutkan orang tua?

Masih ada harapan bahasa daerah untuk tetap lestari. Kita pasti tak ingin kekayaan bangsa semakin berkurang karena kehilangan bahasa daerah. Keberadaan bahasa daerah harus terus diberdayakan agar kelestariannya dapat dipertahankan. Oleh karena itu, bahasa daerah harus memiliki kekuatan dan kemampuan sehingga dapat bersaing dengan bahasa nasional dan bahasa asing. Bahasa daerah tidak cukup hanya dengan dipelajari. Akan tetapi, cara yang paling efektif untuk memelihara bahasa daerah adalah dengan cara mengucapkan, menggunakan, dan memberdayakannya di lingkungan keluarga. Upaya memelihara bahasa daerah dapat berjalan beriringan dengan upaya menguasai dua bahasa utama lainnya, yaitu bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional dan bahasa Inggris sebagai bahasa internasional. Melalui “Sumpah Pemuda” mari kita junjung tinggi bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan dengan tetap melestarikan bahasa daerah sebagai khazanah budaya bangsa. Ingat, bahasa daerah itu pasti, bahasa Indonesia itu wajib, dan bahasa asing itu perlu!

*Penulis, Staf Teknis di Balai Bahasa Provinsi Jawa Barat.

×

 

Hallo!

Klik kontak kami di bawah ini untuk mengobrol di WhatsApp/p>

× Apa yang bisa saya bantu?