Utamakan Bahasa Indonesia, Lestarikan Bahasa Daerah, dan Kuasai Bahasa Asing

Menuju Zona Integritas Wilayah Bebas dari Korupsi

Kontak Aduan & Layanan
082130165377
Pengaduan ULT
Prosa

Surgatikus

*oleh Zulfa Nasrulloh

Padahal hanya kepala ikan bandeng di atas tumpukan piring kotor. Aku membawanya karena perut yang lapar dan anakku mencicit rewel di rumah. Hanya itu! Tak ada maksud apapun. Tapi baru segigit saja, berbatang lidi sudah memburu dan melecut moncongku. Bukankah ini suatu penindasan?

Dapur seketika berubah menjadi arena perang penuh serangan. Aku pun berlari sekuat tenaga. Menjauh dari serangan gila. Menjauh dari garpu dan pisau yang melesat-lesat. Kaki kananku terhantam sendok hingga berdarah. Aku tak dapat berlari ke tempat anakku menunggu. Lubang di kamar mandi itu telah dijaga dan serangan yang memburu membuatku tak bisa berpikir panjang.

Kuloncati saja jendela, lalu bersembunyi di bawah trotoar jalan. Dan di dalam selokan itu aku berlari bersama perih yang menggerayangi tubuh. Ingin rasanya merangkak ke atas troroar jalan. Tapi siapa yang berani pada manusia? Mereka akan pura-pura terkejut dan bergegas mencari batu untuk dilempar seenaknya. Manusia biadab! Aku benar-benar diliputi ancaman. Air selokan meninggi dan perih semakin menjalar. Tak ada pilihan lain. Aku harus keluar dari selokan.

Rupanya jalan raya begitu tenang di siang yang membakar. Hanya satu dua kendaraan melintas kencang lalu kembali lengang. Dan dalam keadaan benar-benar payah aku pun terseok-seok menyebrangi jalan. “Aku harus kembali ke rumah” pikirku. Terlintas wajah kecil yang menunggu. Kekecewaan anak kecil saat tahu ibunya datang tanpa makanan.

Atau aku tak perlu kembali? Aku takut ia muntah dan tak berselera makan.  Karena setelah suara decitan mobil tak mampu lagi kudengar, tubuhku seperti kue yang hancur berantakan. Di jalan itu, aku benar-benar mengenaskan.

***

“Sialan! Padahal sedikit lagi tikus sialan itu berhasil kubunuh!” teriak seorang wanita di sebuah dapur yang berantakan.

Seorang lelaki datang dan mendengarkan cerita itu sambil memegang tongkat dengan genggaman yang kencang. Tongkat itu dipukul-pukulkan ke pintu kamar mandi dengan berang. Seolah tikus itu berubah menjadi pintu yang harus ia musnahkan.

Seorang anak perempuan tiba-tiba menyembul dari arah ruang tengah. Ia menggelengkan kepala saat melihat dapur seperti kapal pecah. Matanya sinis, bibir kecil itu mengkerucut. Ibunya yang bertolak pinggang dan ayahnya yang mengorek-ngorek lubang pembuangan air, memandang anak itu sejenak, sedikit iba, dan akhirnya sibuk kembali dengan kemarahan yang sama.

“Lubang ini harus kita pasangi perangkap. Kalau perlu kita masukkan racun, bensin, minyak tanah, atau apapun sampai tikus itu tahu rasa!”

“Sudahlah ayah,  tikus itu makan apa sih? Paling-paling hanya secuil makanan. Tapi kalian seperti kehilangan semuanya.”

“Sekarang secuil makanan. Tapi ibu yakin, tikus sialan itu pasti kembali lagi dan menggondol semua makanan kita.”

Anak perempuan itu menghela napas panjang. Ia menyerah dan meninggalkan dapur dengan perasaan jengkel luar biasa. Bukan hanya karena terganggu dengan kegaduhan kedua orang tuanya, tapi tentang keinginannya selama ini yang semakin sulit terkabulkan.

***

Suara anakku bercericit rendah, kulit tubuhnya menampakkan urat-urat halus berwarna merah muda. Aku belum mengabulkan keinginannya. Ia lapar.

Melihat lengan mungilnya yang mengais-ngais kain selimut, membuatku kembali mengingat bepasang-pasang lengan yang tak sempat bergerak di dunia. Anakku harus mati sebab keteledoranku. Aku melahirkan mereka di belakang rumah petani sayur yang terkontaminasi racun serangga. Dan aku yakin pak tani itu sengaja menaburkannya.

Aku pun pindah ke daerah perumahan agar dapat membesarkan anakku satu-satunya.  Kami tinggal di selokan tertutup di bawah trotoar jalan, tempat semua pipa pembuangan bermuara. Setiap pagi kami selalu berharap ada manusia tak sengaja membuang makanannya. Tapi semua tak seperti yang kubayangkan. Makanan-makanan yang terbuang lebih beracun dari makanan petani yang terkontaminasi. Barangkali karena tercemar air selokan atau sesuatu yang tak kuketahui.

Mencari makanan pun lebih berisiko. Manusia sering memasang perangkap dan menabur racun di setiap sudut rumahnya. Maka hanya dua butir kacang tanah yang kudapatkan hari ini. Aku bersumpah, akan berusaha lebih giat lagi. Apapun akan kulakukan demi keberlangsungan hidupnya.

***

Tak ada yang dilakukan ibu dan ayahku selain mengurusi urusan dinas di kota. Mereka hanya libur di hari minggu dan tanggal-tanggal merah. Ketika itu, kegiatan mereka sibuk dengan urusan masing-masing. Ibu sibuk dengan percobaan resep masakan yang ia pungut dari majalah. Ayah merawat burung-burung hias yang berisik. Dan aku dipaksa sibuk dengan tugas sekolah dan les yang membosankan.

Terlebih ketika aku tertarik pada seekor binatang pengerat. Orang tuaku semakin bawel dan menyebalkan. Mereka melarangku! Mereka berkata,

“Yang wajar-wajar saja. Tikus ya tikus. Jangan samakan dengan seekor kucing atau anjing. Menjijikkan!”

Nasihat menyebalkan. Beruntung aku memiliki teman yang memelihara tikus. Hingga kerinduanku pada tikus sedikit terobati. Dan setiap pulang ke rumah, aku marah lagi pada orang tuaku. Mereka tak kuajak bicara. Ah, mereka memang tak pernah mengajakku bicara.

Sampai suatu hari, rumah diramaikan seekor tikus yang mencuri makanan di dapur. Jelas kedua orang tuaku marah bukan main tentang kejadian itu. Entah karena ulah tikus itu benar-benar mengganggu atau mereka mencoba menjawab pertanyaanku yang terus saja kutanyakan.

“Kapan ibu dan ayah mau membuka mata dan mengijinkanku memelihara tikus?”

***

Mataku akhirnya terbuka. Entah sudah waktunya atau karena perutku yang terus saja berbunyi. Dua butir kacang dalam perutku telah menjadi ampas dan tergeletak di tanah. Tapi kenapa tak ada ibu di sini? Ibu dimana? Pantas ketika mataku terpejam, ibu tak menjawab cicitan yang selalu aku lenguhkan.

Ah, ibu pasti mencari makanan. Aku sangat lapar. Aroma makanan tercium dari arah sebuah lubang. Aku pun memasuki lubang itu dan berjalan menyusuri lorong panjang sambil sesekali menjilat air yang mengalir di bawahnya. Aku pun sampai di suatu ruangan yang terang benderang. Aroma enak tercium semakin kuat.

Setelah memanjat kayu, akhirnya kutemukan muasal aroma. Sebuah wadah dengan benda di atasnya. Ada makhluk besar mengucek-ngucek benda itu. Ia memandangku. Tangannya menyergapku dan membawaku sambil tertawa-tawa. Aku dibawanya pada ruangan tertutup dan tembus pandang. Di tempat itu aku sangat bahagia, makanan tersedia setiap harinya.

Ibu, inikah surga yang sering ibu ceritakan? Ibu di surga sebelah mana?

***

Ibu di Surgatikus, Nak. Tempat paling nyaman yang tak akan mungkin kamu bayangkan. Ibu dalam keadaan yang baik seperti kau sekarang. Dinding yang kau garuk-garuk itu namanya kaca. Ibu pun punya. Di tempat ibu sekarang, dinding rumahnya terbuat dari berlian merah dan putih yang terukir. Mirip dengan kaca. Jaraknya satu mil, anakku! Benar-benar megah. Ada beberapa sungai yang bisa ibu minum kapan pun. Benar-benar penuh dengan makanan dan kenikmatan.

Tempatmu sekarang itu bukan surga. Namun cukup layak dari tempat kita dahulu. Nikmati saja. Walau pun tempatmu itu sering dalam keadaan gelap, setidaknya kau tak perlu mencari makanan dan hidup penuh ancaman. Terlalu berisiko. Ibu takut kamu terlalu cepat meninggal dan salah masuk surga. Meninggalnya anak tanpa dosa, hanya akan menjadi pelayan-pelayan sorga saja.

Kamu harus hati-hati, anakku. Makhluk besar yang menangkapmu itu namanya manusia. Seperti yang pernah ibu ceritakan. Kau masih mengingatnya? Ibu pun tak mengerti kenapa manusia yang satu ini sudi memeliharamu. Apakah mereka ingin membunuhmu ketika kau dewasa? Ataukah ini cara mereka meminta ibu datang menemuimu dan membalas dendam? Andai ibu bisa melakukannya. Ibu akan datang sekarang juga.

Sekarang, kau bersabarlah di sana. Jika memang mereka memeliharamu agar kau tumbuh menyerupai ibu, lalu mereka puas membunuhmu, kamu siapkan saja fisik dan mentalmu untuk berlari sekuat tenaga. Berlarilah! Keluar dari rumah itu! Kau boleh bersembunyi di bawah trotoar atau di mana saja yang tak mungkin mereka gapai. Dan ketika mereka tak mengejarmu lagi, segeralah kau keluar dari persembunyianmu. Sebrangilah jalan raya saat matahari tepat di atas kepala. Ketika itu Tuhan akan menjemputmu, anakku. Bersama suara decitan mobil dan bidadari yang menari.

Ibu akan menunggumu di sini.

***

Majalaya 09 April 2012-2016

Penulis adalah penikmat, pegiat dan pemerhati sastra. Lahir di Bandung 21 Januari 1993. Menyelesaikan studi di Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia UPI Bandung dan Arena Studi Apresiasi Sastra (ASAS) UPI. Beberapa karyanya termuat di berbagai koran dan majalah lokal. Kini seorang guru dan Kontributor tetap di Buruan.Co.

×

 

Hallo!

Klik kontak kami di bawah ini untuk mengobrol di WhatsApp/p>

× Apa yang bisa saya bantu?