“The One”: Epiphany bagi Seorang Manusia

oleh Adisti Khairunnisa.

Banyak sekali definisi tentang cinta. Cinta menjadikan kita dapat menikmati kehadiran seseorang di dekat kita. Rasa cinta selain dapat diungkapkan secara verbal, dapat diungkapan juga secara fisik, berpegangan tangan contohnya. Akan tetapi, kita tahu bahwa bagi seorang muslim hal tersebut merupakan sesuatu yang dilarang oleh agama. Oleh karena itu, bagi seorang muslim ada aturan-aturan tertentu yang membatasi bagaimana cara bergaul dengan lawan jenis (bertaaruf). Cinta juga identik dengan rindu. Pada saat tidak bisa menyalurkan rasa rindu, seseorang akan mencari media untuk mengungkapkan perasaannya. Media yang biasa digunakan untuk mencurahkan perasaan seseorang yang sedang dilanda cinta adalah puisi.

Puisi adalah karya sastra yang ditulis oleh seseorang untuk menyampaikan pesan menggunakan media kata-kata yang ditulis dengan indah. Pesan itu bisa merupakan pesan cinta, persahabatan, keluarga, bahkan pesan yang melibatkan Tuhan di dalamnya, misalnya mengungkapkan rasa kagum dan rasa cinta dengan cara bersyukur. Salah satu puisi yang mengusung tema cinta dan melibatkan Tuhan di dalamnya adalah puisi “The One” karya Prof. Bachrudin Musthafa, M.A., Ph.D. yang merupakan seorang dosen jurusan Bahasa Inggris, Universitas Pendidikan Indonesia pada jenjang S-1, S-2, dan S-3.

“The One” merupakan puisi yang ia tulis saat masih kuliah S-3 di Amerika. Ia menceritakan awal mula pembuatan puisi ini, yakni pada saat ia tidak bisa tidur selama tiga hari tiga malam. Akhirnya, pada suatu malam ia melaksanakan salat malam atau salat tahajud, lalu menulis puisi. Ia menceritakan bahwa ada pergulatan batin di dalam dirinya sebelum menulis puisi ini karena setelah menulis “The One” perasaannya menjadi lega dan bebannya menjadi lepas. “The One” merupakan epiphany yang beliau rasakan, yaitu pengalaman puncak yang tidak ada tandingannya, baik itu rasa bahagia maupun rasa kecewa. Pengalaman batin itu ia rasakan bukanlah hal yang biasa-biasa saja. Jika diumpamakan, misalnya, seseorang yang berasal dari daerah tropis pertama kali melihat salju, tentu saja hal ini merupakan pengalaman baru baginya, begitu pun pengalaman yang ia rasakan saat menulis puisi “The One” ini.

Ia merasakan hal baru yang sangat luar biasa mengenai cinta sehingga ia bisa menciptakan puisi ini hanya dalam hitungan menit. Ketika seseorang merasa rindu tapi tidak bisa mendekapnya, dia hanya bisa meminta pertolongan tuhan untuk menyampaikan rasa rindunya yang disalurkan melalui puisi. Dengan begitu, ia akan tetap dapat menjaga diri dan tetap dapat merasakan kehadiran orang yang dicintainya. Keunikan puisi “The One” dapat dilihat seperti pada bait berikut:

“In a party of three
He, you, and me
We meet
In solemn prayers every midnight”.

Keunikan yang tersimpan pada bait tersebut adalah pesan penulis menyalurkan rasa rindunya melalui salat malam yang mempertemukan dirinya, seseorang yang dia cintai, dan Tuhan. Itu merupakan cara romantis yang bisa dilakukan oleh seseorang untuk mendoakan sosok yang dia cintai ketika tidak bisa mendekapnya secara fisik (karena larangan dalam agama untuk pasangan yang bukan suami istri). Doa yang dipanjatkan pada saat salat malam adalah sesuatu yang paling baik untuk memohon terkabulnya segala pengharapan.

“He-you-and-me
Hyphenated as one
In three we find our form and substance
As we’re mean to be
One”.

Keindahan bisa terlihat pada bait terakhir yang mengatakan bahwa aku, kau, dan Tuhan memang ditakdirkan untuk menjadi satu. Menyiratkan sebuah pesan untuk menerima semua keindahan itu dengan segala bentuk keterbatasannya.

In every prayer is union
Three of us dissolve in one
Like an equilateral triangle
One base supports the two
The two sides shape the one

Segitiga sama sisi memberikan makna satu sisi yang mendukung sisi lainnya untuk tetap berdiri tegak. Segitiga adalah simbol yang digambarkan dalam puisi ini, tokoh aku dan kamu bersandar pada Tuhan untuk mendoakan satu sama lain.

Prof. Bachrudin Musthafa menjelaskan bahan baku untuk menciptakan sebuah puisi adalah pengalaman, bukan gagasan. Gagasan adalah bahan baku esai, sebagai informasi yang dibutuhkan dalam pembuatan esai, sedangkan puisi hanya membutuhkan pengalaman. Ia mengatakan, jangan heran jika banyak penyair yang bertualang hanya untuk mendapat inspirasi. Bukan rasa bertualangnya yang dicari penyair, melainkan menemukan sesuatu yang luar biasa itu atau epiphany yang bisa menjadi ilham dalam pembuatan sebuah puisi.

Contoh, penyair Emily Dickinson. Dia menetap di rumahnya dan tidak bisa pergi ke mana-mana karena penyakit yang dideritanya. Akan tetapi, melalui pengalaman yang dialaminya, dia bisa menghasilkan hingga 1800 puisi yang sampai kini masih terkenal karena itu merupakan epiphany yang terjadi dalam hidupnya.

Semua puisi tercipta melalui penyair yang memiliki pengalaman yang luar biasa sehingga bisa menciptakan puisi yang luar biasa, salah satunya adalah puisi “The One” ini. Prof. Bachrudin Musthafa mengalami pengalaman yang luar biasa mengenai cinta dan kehidupannya sehingga beliau bisa menghasilkan karya yang luar biasa juga, bahkan penyair sehebat Taufik Ismail pun memuji puisi tersebut. Semua orang akan mendapatkan epiphany atau pengalaman yang luar biasa itu, dan mereka mempunyai pilihan untuk tetap menyimpan kenangan itu atau menuangkannya ke dalam karya sastra yang bisa mereka kenang setiap waktu.

Penulis adalah mahasiswa Universitas Pendidikan Indonesia.

Bagikan ke:

Postingan Terkait