Menilik Makna Lagu “Domba Kuring”: Melestarikan Literasi Bahasa dan Sastra demi Penguatan Jati Diri Bangsa

 Menilik Makna Lagu “Domba Kuring”: Melestarikan Literasi Bahasa dan Sastra demi Penguatan Jati Diri Bangsa

Bandung—Lahir dan berkembang di Nusantara, dangdut kerap kali menyita perhatian masyarakat lewat tabuhan kendang dan alunan melodi yang tak jarang membuat hati yang kalang kabut jadi terpincut. Pada hakikatnya, genre dangdut, yang merupakan produk akulturasi berbagai suku di Indonesia, masih dicintai masyarakat modern Indonesia, lintas etnis, dan budaya. Tak terkecuali lagu berbahasa daerah karya seorang maestro Sunda, yaitu Darso yang berjudul “Domba Kuring”. Berkat entakan irama yang akrab di telinga masyarakat Indonesia, tak mengherankan bila saat ini lagu tersebut tengah digandrungi oleh berbagai kalangan, baik muda maupun tua, bahkan video lagu itu meraih jutaan tinjauan di berbagai platform media sosial.

Perkembangan musik dangdut yang kian pesat tidak terlepas dari sejarah perkembangan khazanah kebudayaan Indonesia. Di tahun 1990, dangdut Sunda hadir dan tumbuh subur dengan percampuran elemen instrumen, melodi, tangga nada, dan struktur lagu dari etnik lain, seperti Jawa, Minangkabau, dan Tapanuli (Muttaqin, 2006). Sebagai genre musik yang multietnik, dangdut bergerak sebagai penjaga budaya dan juga pemersatu bangsa. Lagu “Domba Kuring” berhasil mempersatukan warganet di Indonesia dan terus bergema sepanjang tahun 2023. Dengan lirik yang sederhana, tetapi menarik, makna lagu ini memantik rasa penasaran masyarakat Indonesia sehingga terus menjadi bahan perbincangan. Lantas, apa sebenarnya makna dari lagu tersebut? Dibuka dengan lirik Miara domba téh dua. Domba bikang duanana yang artinya ‘Memelihara domba itu dua. Domba betina dua-duanya.’ Lagu ini menceritakan tentang kebanggaan dan komitmen dalam memelihara domba-domba secara mandiri yang tersurat dalam salah satu lirik yang paling diingat masyarakat: Domba-domba kuring. Diangon-angon ku kuring. 

Pemilihan hewan domba sebagai objek dalam lagu “Domba Kuring” bukan tanpa alasan. Jika ditelaah kembali sejarahnya, domba amat erat dengan kebudayaan adu ketangkasan hewan dari daerah Jawa Barat, yaitu Kabupaten Garut. Lewat ajang ini, masyarakat yang memiliki domba mampu bersaing mendapatkan prestise bahkan uang jutaan rupiah (Nurhuda dan Firdaus, 2023). Budaya ini sudah mengakar ke dalam masyarakat Kabupaten Garut, bahkan Indonesia, karena penamaan khas “domba garut” sudah masuk entri KBBI dengan definisi domba yang tubuhnya besar, lebar, dan kuat, tanduk jantannya besar, melengkung ke belakang terus ke depan membentuk semacam lingkaran. Kata domba garut yang sarat akan nilai kebudayaan bisa ditemukan dalam lirik Jaluna mah domba adu asal Garut. 

Masyarakat Jawa Barat memandang domba sebagai hewan yang memiliki prestise. Oleh karena itu, memelihara domba menjadi aktivitas yang ditekuni secara serius oleh masyarakat yang mempunyai hobi merawatnya. Dengan adanya prestise bagi pemiliknya, domba dirawat dengan kasih sayang, kebanggaan, dan rasa memiliki yang tinggi. Bagi masyarakat Jawa Barat, khususnya Kabupaten Garut, merawat domba layaknya merawat budaya. Domba garut yang sudah menjadi bagian dari budaya adu ketangkasan sejak tahun 1915, secara tidak langsung menjadi tonggak kebudayaan masyarakatnya (Nurhuda dan Firdaus, 2023).

Semangat merawat domba garut yang menggelora sejak puluhan tahun yang lalu masih dipupuk sampai saat ini. Lantas, mampukah kita memupuk semangat yang sama dalam merawat budaya Indonesia? Tentunya bisa, salah satu caranya adalah dengan merawat literasi bahasa. Lagu “Domba Kuring” yang merupakan bagian dari literasi kebudayaan lewat musik yang multietnik dan berkaitan erat dengan kebudayaan merawat domba ini mengisyaratkan kita untuk senantiasa merawat literasi budaya, bahasa, dan sastra. 

Lirik Ayeuna geus ngalobaan. Ngalobaan, aranakan, yang artinya, ‘Sekarang sudah bertambah, bertambah dan beranak’ menjadi refleksi bahwa layaknya merawat domba yang perlu diperhatikan, dimandikan, bahkan dikembangbiakkan, merawat literasi bahasa dan sastra juga harus penuh dengan perhatian, pemutakhiran, dan pengembangan. Ini penting karena dengan literasi yang lestari, bangsa Indonesia akan bersinergi untuk mencapai kemajuan yang pasti.

Literasi merupakan fondasi perkembangan ilmu pengetahuan. Menurut Prof. E. Aminudin Aziz dalam pembekalan Duta Bahasa Tingkat Nasional 2023, literasi harus dipandang sebagai sesuatu yang holistik. Artinya, literasi tidak hanya didefinisikan sebagai kecakapan membaca dan menulis huruf, tetapi juga kecakapan menggunakan atau mengaktualisasikan informasi, baik teks maupun nonteks. Apa gunanya bisa membaca dan menulis teks tanpa bisa menggunakan informasi tersebut di dalam aksi nyata? Dengan adanya pemahaman ini, kehadiran literasi dipandang luas dan sangat penting sebagai “ruh” yang menghidupkan setiap ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, literasi harus dirawat dengan baik. 

Sayangnya, alih-alih dirawat dengan baik, literasi di Indonesia sebagai fondasi ilmu pengetahuan bahkan belum dibangun dengan kuat. Berdasarkan hasil Asesmen Nasional (AN) tahun 2021, satu dari dua peserta didik dinyatakan belum mencapai kompetensi minimum literasi. Hal ini menunjukkan bahwa Indonesia mengalami darurat literasi. Senada dengan hasil AN 2021, hasil PISA dalam 20 tahun terakhir belum menunjukkan perubahan yang signifikan. Skor literasi membaca peserta didik di Indonesia masih tergolong rendah dan masih di bawah rata-rata peserta di negara Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD). 

Hal ini menunjukkan bahwa literasi membutuhkan gebrakan baru yang serius. Sebagai generasi muda Indonesia sekaligus ikon pemuda peduli bahasa, duta bahasa memiliki tanggung jawab untuk senantiasa menjadi teladan yang memberikan contoh sekaligus mengedukasi generasi muda akan pentingnya berliterasi terutama dalam bidang bahasa dan sastra. Terlebih, duta bahasa memiliki peran, yakni sebagai pendukung program prioritas Badan Bahasa, di antaranya ialah program literasi kebahasaan dan kesastraan. 

Dengan tujuan menciptakan langkah konkret dalam mendukung upaya peningkatan literasi kebahasaan dan kesastraan, Duta Bahasa Jawa Barat merancang sebuah program bernama Kirana dengan mengusung prinsip fleksibel, inovatif, dan interaktif. Melalui media teknologi yang saat ini digunakan oleh hampir seluruh kalangan, Kirana ditujukan untuk kelompok pelajar sekolah tingkat dasar. Hal ini dalam rangka mendukung pernyataan Mendikbudristek, Nadiem Makarim, pada acara pemaparan hasil Asesmen Nasional (AN) tahun 2021 yang mengatakan bahwa tingkat SD menjadi prioritas untuk memperbaiki isu literasi. Kehadiran Kirana diharapkan mampu menjadi media pendukung dalam upaya peningkatan minat literasi bahasa dan sastra yang ringan, tetapi interaktif di Jawa Barat. Dengan adanya fitur memilih alur cerita selanjutnya dan menjawab kuis singkat dalam cerita, Kirana mengajak anak-anak untuk berpikir kritis, tetapi tetap senang dan aktif berinteraksi selama proses membaca cerita. Selain itu, Kirana hadir untuk menumbuhkan rasa kebinekaan atau tenggang rasa sejak dini melalui cerita bertema kedaerahan dengan tokoh cerita yang berasal dari berbagai provinsi. Tak hanya itu, setelah membaca cerita dalam laman Kirana, anak-anak diberikan fasilitas untuk menuangkan idenya dalam bentuk karya tulis (menggambar atau menulis) atau lisan (membuat video) yang menjelaskan mengenai tema cerita yang mereka baca. Hal ini membuat anak-anak memahami dengan utuh rangkaian literasi yang telah mereka lalui, mulai dari membaca, memahami gambar dan alur cerita, menuangkan ide dalam bentuk karya kreatif, serta mengaktualisasikan pemahaman yang mereka dapatkan dari cerita yang dibaca ke dalam aksi nyata.

Kembali pada filosofi lagu “Domba Kuring” sebelumnya, kita dapat berefleksi bahwa literasi adalah bentuk buah pikir yang perlu senantiasa dipelihara, dituangkan ke dalam sebuah karya yang akan menguatkan identitas budaya, serta diturunkan ke generasi selanjutnya. Sama halnya seperti ketika kita merawat domba,  kita perlu memberikan perawatan dan perhatian yang baik agar mereka mampu menghasilkan keturunan sehingga jenis domba yang dirawat tetap lestari dan dikenal oleh generasi penerus kita. Oleh karena itu, sebagai generasi muda, mari kita rawat literasi dengan sepenuh hati agar terus berkembang sebagaimana Darso merawat domba-domba yang ia miliki dalam karyanya. 

Ditulis oleh: Fadiatus Salamah & Gaizzka Metsu Wilsensa (Duta Bahasa Provinsi Jawa Barat 2023)

 

Postingan Terkait